Friday, March 5, 2010

PRAHARA Karya KAHLIL GIBRAN

Dalam tahun ketiga puluh dari hidupnya, Yusof el-Fakhri meninggalkan dunia dan semua yg ada di dlmnya demi hidup sebagai seorang pendiam, pertapa asketik di dlm biara sunyi di tepi Lembah Kadisha di sisi utara Gunung Lebanon itu.
Penduduk dari desa2 tetangga berselisih mengenai siapa dia sebenarnya.Sebagian mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga hartawan dan terpandang, tapi dia dikhianati oleh wanita yg dia cintai. Karena alasan ini dia tinggalkan rumah tuanya, mencari penghiburan dlm kesendirian. Yg lain berkata bahwa dia adalah seorang penyair hebat yg melarikan diri dari tuntutan masyarakat agar bisa mencatat pikiran2 dan perasaannya dlm puisi. Yg lain berkata bahwa dia adalah seorang sufi yg saleh, yg dipenuhi dgn keyakinannya dan tak memperdulikan dunia. Bahkan yg lain berujar dgn enteng, Dia gila.
Aku sendiri tak punya kesimpulan terhadap pendapat2 ini, krn aku tahu bahwa jiwa2 yg berisi misteri gelap takkan pernah bisa diungkap dgn spekulasi yg gampangan. Ingin kutemui org asing itu dan ingin sekali bercakap2 dgnnya. Dua kali aku mencari untuk mendekatinya agar menemukan penjelasan siapakah dia sesungguhnya.dia hanya membelalak dan menolak diriku dgn kasar dan kata2 dingin. Saat pertama aku berjumpa dgnnya, dia sedang berjalan dekat hutan Cedar. Aku melempar salam pdnya sesopan aku mampu. Dia kembali melempar salam dgn anggukan pendek, berpaling,dan pergi lari dariku. Kali kedua aku menemukannya sedang berdiri di tengah sebuah kebun anggur kecil dekat biaranya. Aku menghampirinya dan berkata, 'Kemarin aku mendengar bahwa seorang pendeta Syiria membangun biara ini pd abad keempat belas. Apa Anda tahu sesuatu tentang itu, Tuan?'.
Dia menjawabku dgn membelalak,' Aku tak tahu siapa yg mendirikan pondok ini, jg aku tak mau tahu.'Lalu dia membalikkan punggungnya ke arahku dan menambahkan dgn rasa penghinanan.'Mengapa tdk kau tanya nenekmu? dia lebih tua dan lebih tahu tentang sejarah lembah2 ini.' Maka aku meninggalkannya, bingung dan malu atas sikap kekanakanku.
Dua tahun berlalu. Kehidupan org yg mengandung teka teki ini memikat imajinasiku dan memenuhi pikiran serta mimpi2 ku.
Suatu hari di musim semi aku mengembara di antara perbukitan dekat biara Yosof el-Fakhri dan tiba2 aku dikejutkan oleh sebuah prahara. Angin dan hujan membuat diriku laksanana alat permainan laut yg mengamuk mempermainkan sebuah kapal, gelombang menghancurkan kemudi dan angin mengoyak2 layarnya. Aku berbelok menuju biara itu, sambil membatin, Inilah kesempatan yg tlh lama kucari untuk menyambangi pertapa ini, karena badai akan menjadi alasanku dan pakaianku yg basah penyokongku.
Aku mencapai biara itu dlm keadaan yg menyedihkan.Tak lama kemudian aku mengetuk pintu, lalu lelaki yg tlh begitu lama kurindukan tlh tepat berada di hadapanku. Dia memegang seekor burung, kepalanya terluka dan sayap2nya patah, bergetar seolah2 dia berada dlm ambang nafas terakhirnya. Setelah memberi salam pdnya, aku berkata, 'Maafkan aku, Tuan, karena kedatanganku dgn cara begini, tapi badai begitu hebat dan aku jauh dari rumah.'
Dia mengamati wajahku dan k mudian berbicara dgn suara yg dinodai kemuakan.'Ada banyak gua di daerah ini. Anda bisa mengungsi di salah satu gua itu'.
Dia berkata sambil mengusap kepala burung dgn kelembutan yg tak pernah kulihat dlm hidupku. Aku heran dgn dua pertentangan -kekembutan dan kekejaman sekaligus- aku tak faham apa yg dilakukannya. Agaknya dia tahu apa yg ada dibenakku. Dia memandangku, mencari penjelasan, dan berkata,' Prahara takkan memakan makanan basi. Mengapa engkau takut pdnya dan melarikan diri?.
Aku menjawab, 'Prahara tdk mungkin seperti makanan, basi atau segar, tapi dia candu yg dingin dan basah. Tanpa ragu2 dia akan menemukanku laksana santapan yg lezat, dan dia akan meraih diriku sekali lagi.'
Wajahnya tenang sejenak lalu berkata,' Prahara akan menelanmu, kau akan mencapai suatu kehormatan yg engkau tak layak mendapatkannya.'
Aku membalas,'Ya, tapi Tuan, aku datang pdmu melarikan diri dari prahara agar tak menerima kehormatan yg tdk kuwarisi.'
Dia memalingkan kepalanya, mencoba menyembunyikan senyum tipisnya, dan menunjuk sebuah bangku kayu dekat perapian tempat sekobar api terbakar,'Duduk dan keringkan pakaianmu.'
Setelah berterima kasih, aku duduk di dekat perapian. Dia duduk di depanku pd sebuah bangku yg tersandar pd batu. Dia mulai memasukkan ujung2 jarinya ke dlm sebuah kendi tanah, mengusapkannya ke sayap dan kepala burung yg terluka. Lalu dia menoleh kpdku dan berkata,'Angin menangkap burung murai ini dan melempar dia menghantam batu karang, meninggalkan dia dlm keadaan setengah mati'
Aku menjawab,'Angin, Tuan, jg mebawaku ke pintumu, dan kini aku tak tahu apakah dia mematahkan sayapku atau melukai kepalaku.'
Dia menatap wajahku dgn penuh perhatian.'Betapa hebatnya manusia kalau memiliki sifat dasar seekor burung, sehingga angin dpt mematahkan sayapnya dan meremukkan kepalanya. Tapi manusia ada dgn sikap penakut dan pengecut. Begitu dia disentakkan prahara dia pun melarikan diri, berusaha menyembunyikan dirinya di antara bebatuan karang dan gua2 bumi.'
Sambil menerawangkan pikiran ini, aku berkata.'ya, burung itu memiliki kehormatan yg tak dimiliki manusia, krn manusia hidup dlm bayang2 hukum dan adat yg dia rencanakan untuk dirinya sendiri, namun sekawanan burung hidup sesuai dgn kemutlakan hukum semesta yg memandu bumi mengedari matahari.'
Matanya bercahaya dan wajahnya menunjukkan kegembiraan seorang guru yg menemukan seorang murid penuh pengertian.'Bagus.Bagus! bersambung

No comments:

Post a Comment