Monday, March 8, 2010

PRAHARA 5

Satu jam yg panjang melintas dlm pikiran dan pekikan pd prahara. Yusof el-Fakhri kadangkala berjalan hilir mudik di tengah ruangan dan adakalanya berdiri di pintu, sambil memandang pd langit yg suram. Dan aku? Aku tetap diam, mengamati gelombang yg mengetuk dlm jiwanya, mencoba memahami kata2nya, merenungkan hidupnya dan, di balik kehidupannya kenikmatan serta luka2 dari kesunyian. Tatkala paruh ke dua dari sang malam mencapai akhir, dia datang mendekatiku dan memandang wajahku untuk waktu yg lama. Seolah2 dia sedang mencoba memelihara ingatannya pd suatu gambaran manusia yg misteri kesendirian dan pengasingannya telah ia singkapkan. Lalu dgn lirih ia berkata, 'Sekarang aku akan pergi berjalan menembus badai. Itu adalah suatu kebiasaan yg memberiku kesenangan di musim gugur dan musim dingin... Di sini ada kopi dan rokok. Jika kau menginginkan anggur, Anda dapat menemukannya di dlm kendi. Jika kau ingin tidur, Anda dapat menemukan selimut dan bantal di sudut itu.'
Ketika dia menuturkan ini, dia mengambil sebuah jubah hitam yg berat dan tersenyum. 'Kuharap kau menutup pintu biara saat kau pergi pd pagi hari. Aku berencana menghabiskan siang esok harinya di hutan cadar.'
Ia melangkah menuju pintu dan membawa sebuah tongkat panjang yg selanjutnya bersandar pdnya. Dia berkata, 'Jika prahara mengejutkan engkau untuk kali kedua saat Anda berada di sekitar sini, jangan ragu2 untuk mencari perlindungan di biara ini. Tapi kuharap bahwa jiwamu akan mencintai prahara, jangan takut pdnya,.. Selamat malam, saudaraku.'
Ia berjalan ke luar dgn cepat memasuki malam. Ketika aku melangkah menuju pintu biara untuk melihat arah yg dia tempuh, kegelapan telah menelan dirinya. Selama beberapa menit aku tetap mendengar langkah2 kakinya di batu kerikil lembah itu.
Pagi telah tiba dan prahara telah berlalu. Awan berpencar dan gunung karang serta hutan nampak, diselimuti cahaya matahari. Kutinggalkan biara itu, sambil menutup pintu di belakangku. Di dlm jiwaku aku merasakan suatu kelemahan spiritual yg telah dibicarakan oleh Yusof el-Fakhri.
Sebelum aku kembali menuju tempat kediaman khayalak ramai, sebelum aku melihat gerakannya dan mendengar suara mrk, aku berhenti dan berkata dlm hatiku, 'Ya, kebangkitan spiritual cocok bagi manusia- lagipula, itulah tujuan manusia-tapi bukanlah peradaban, beserta kegelapan dan ambiguitasnya, adalah salah satu menyebabkan kesadaran spiritual? Aku heran bagaimana mungkin kami menolak sesuatu yg ada, kalau kenyataan sebenarnya adalah bukti keyakinan atas kebenarannya? Mungkin peradaban modern adalah suatu kebetulan yg melintas, tapi hukum abadi membuat kebetulan2 itu suatu tangga yg anak tangganya menuju ke substansi yg absolut.'
Aku tak pernah lagi berbicara dgn Yusof el-Fakhri, karena akhir dari kehidupan musim gugur itu telah menarikku jauh dari Lebanon utara. Aku pergi sebagai org pengasingan ke negeri2 yg jauh, yg praharanya begitu gelap. Tapi kehidupan pertapa di negeri itu adalah sejenis kegilaan.

No comments:

Post a Comment